Carilah Ilmu Dari Sekarang Sampai Selanjutnya....???

Forum Diskusi

Forum Diskusi

Selasa, 02 Maret 2010

Sejarah Perjalan Islam di Cibiuk

MENELUSURI jejak sejarah penyebaran agama Islam di Jawa Barat, khususnya di Kab. Garut, tidak akan lepas dari peran dan jasa besar tokoh penyebar Islam, Syekh Jafar Shidik alias Mbah Wali, yang tidak henti-hentinya mendorong umat untuk terus mengembangkan ilmu dan kemajuan ekonomi, termasuk keahlian membuat makanan.

Salah satu warisan dari Mbah Wali yang hingga saat ini terus dikenal yaitu sambel cibiuk yang dikembangkan puterinya, Rd. Ayu Fatimah. Sambel cibiuk bahkan sudah menjadi trade mark di sejumlah restoran di beberapa kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Mungkin karena itulah, orang lebih mengenal Cibiuk dengan sambalnya yang khas.

Padahal, Mbah Wali juga meninggalkan satu warisan yang tak kalah pentingnya bagi pengembangan Islam, yaitu sebuah bangunan masjid yang hingga kini masih bisa dimanfaatkan umat Islam untuk berbagai kegiatan keagamaan.

Masjid yang dibangun memiliki ciri dan corak khas bangunan masjid buatan para wali di Pulau Jawa, yaitu beratap kerucut dengan disangga tiang-tiang kayu kokoh yang sambungannya tidak menggunakan paku. Pada bagian atas atapnya dipasang sebuah benda berukir, terbuat dari batu yang disebut masyarakat setempat sebagai ‘pataka’. Diperkirakan bangunan masjid tersebut sudah berusia lebih dari 460 tahun.

Karenanya, sejumlah tokoh masyarakat berharap pemerintah bisa menjadikan masjid yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Mbah Wali di Kampung Pasantren Tengah RT 01/RW 02 Desa Cibiuk Kidul itu sebagai salah satu bangunan cagar budaya. Kendati demikian, mereka juga menyadari harapan tersebut tampaknya cukup sulit diwujudkan.

Panggung

Pasalnya, bangunan masjid peninggalan Mbah Wali sudah banyak berubah dari aslinya. Hal itu diakui tokoh masyarakat Cibiuk yang juga pengurus Masjid Mbah Wali, K.H. Ahmad Zainal Muttaqien. Menurutnya, Masjid Mbah Wali aslinya berupa bangunan panggung berukuran 6 x 6 meter, terbuat dari kayu dan bambu, dengan lantai pelupuh (papan terbuat dari bambu, red). Atapnya berupa ijuk yang di atasnya dipasangi sebuah pataka. Masjid tersebut beberapa kali mengalami renovasi.

Tempat masjid tersebut berada disebut sebagai Kampung Pasantren Tengah. Karena, tempat tersebut tepat berada di tengah kampung-kampung dan desa di wilayah tersebut. Mungkin hal itu bertujuan agar masjid dan pesantren yang dibangun Mbah Wali bisa dijangkau dari berbagai tempat.

Pohon kendal

Di depan Masjid Mbah Wali terdapat sebatang pohon kendal yang diduga berusia ratusan tahun, bahkan lebih tua dari usia masjid. Pohon yang buahnya oleh anak-anak sering dipakai sebagai lem untuk menangkap capung, dipercaya beberapa kalangan tertentu sebagai tempat para wali melangsungkan suatu pertemuan dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar