Carilah Ilmu Dari Sekarang Sampai Selanjutnya....???

Forum Diskusi

Forum Diskusi

Selasa, 02 Maret 2010

Beberapa Pendapat Nikah Mut'ah

BEBERAPA PANDANGAN

TENTANG NIKAH MUT’AH

(Kajian Pandangan Ulama terhadap Nikah Mut’ah)

I. PENDAHULUAN

Di tengah-tengah masyarakat kita sering mendengar tentang kawin kontrak. Sebuah perkawinan yang didasarkan pada kesepakatan untuk mengadakan ikatan lahir batin suami istri, yang mana ikatan perkawinannya disandarkan pada waktu tertentu yang sudah disepakati. Kita juga sering mendengar dan menemui tentang istilah nikah mut’ah. Bagaimana sebenarnya kawin model seperti ini, bagaimana pandangan para ulama terhadap model kawin mut’ah atau kawin sementara ini. Kita cermati pandangan dan pendapat dalam masalah ini.

Menurut sebagaian para ulama kawin mut’ah sering juga disebut dengan sebutan “kawin terputus”. Disamping itu nikah mut’ah terkenal dengan sebutan “kawin sementara”, ada juga yang menyebutnya dengan sebutan “aqad kecil”. Kenapa disebut demikian, karena model perkawinan mut’ah ini amatlah terbatas dengan adanya pembatasan waktu. Samakah nikah mut’ah ini dengan nikah sementara ? Sebagian ulama yang lain memandang bahwa ada perbedaan antara nikah sementara dengan nikah mut’ah. Pada nikah mut’ah tidak dipergunakan didalam ijab qabul lafadz nikah atau lafadz yang sama artinya dengan nikah, akan tetapi dipergunakan lafadz mut’ah atau yang sama pengertiannya dengan nikah mut’ah. Sebaliknya pada nikah sementara, dipergunakan lafadz nikah atau yang sama artinya dengan itu.

Disebut dengan nikah mut’ah apabila dalam aqad perkawinannya memenuhi hal-hal sebagai berikut :

1. Lafadz sighat ijabnya menggunakan lafadz-lafadz mut’ah atau yang sama artinya dengan mut’ah yang berarti bersenang-senang.

2. Dalam nikah mut’ah tidak ada wali, perkawinan mut’ah tanpa wali.

3. Dalam nikah mut’ah tidak dihadirkan saksi, perkawinan mut’ah tanpa wali.

4. Dalam aqad nikah mut’ah terdapat ketentuan pembatasan waktu, misalnya untuk satu minggu, satu bulan atau satu tahun dan sebagainya.

Menurut Imamiyah masa mut’ah tidak boleh melebihi 45 hari.

5. Mahar atau mas kawin wajib disebutkan dalam proses aqad ijab qabul.

6. Kedudukan anak dalam nikah mut’ah seperti kedudukan anak dalam nikah biasa.

7. Bila tidak disyaratkan maka antara suami istri tidak bisa saling mewarisi.

8. Talak tidak berlaku sebelum masa yang disepakati berakhir.

9. Dalam nikah mut’ah masa iddah dihitung dua kali suci/haid.

10. Tidak dikenal dengan nafkah iddah.

Nikah mut’ah terjadi apabila ada seorang laki-laki mengawini perempuan untuk waktu yang dibatasi. Dinamakan nikah mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu. (Syayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah VI,Alih Bahasa Drs. Moh Thalib, Al-Ma’arif, Bandung, 1993, h. 57).

Perbedaan nikah mut’ah dengan nikah biasa adalah sebagai berikut :

1. Pada nikah biasa tidak terdapat pembatasan waktu, misal untuk satu minggu, satu bulan, satu tahun dan sebagainya.

2. Pada nikah biasa tidak terdapat pembatasan waktu.

3. Pada nikah biasa secara otomatis antara suami istri saling mewarisi.

4. Pada nikah biasa apabila terjadi talak dapat memutuskan akad perkawinan.

5. Pada nikah biasa mas kawinatau mahar harus disebutkan dalam akad dan hukumnya sunnah. Sedang dalam nikah mut’ah mas kawin disebutkan sebelum lafadz akad diucapkan.

6. Pada nikah biasa iddah wanita tiga kali suci/haid.

Menurut Zufar, kawin mut’ah jika disebutkan tegas-tegas batas waktunya maka kawinnya sah, tetapi pembatasan waktunya batal. Hal ini apabila di dalam lafadz ijab qabulnya digunakan kata-kata tajwij (kawin), tetapi kalau dipakai kata-kata mut’ah (sementara) maka Zufar sependapat denga ulama-ulama lainnya akan batalnya kawin mut’ah ini.

II. PANDANGAN PARA ULAMA

Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa pada permulaan Islam nikah Mut’ah haram hukumnya, dan apabila ada perbedaan pendapat para ulama menurut mereka karena hukum nikah mut’ah tersebut telah dinasakhkan.

Pandangan para ulama tentang nikah mut’ah akhirnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan sekali lagi karena adanya penghapusan hukum dari yang semula diperbolehkan kemudian diharamkan. Disini ada dua pendapat yang muncul menurut pandangan para ulama Islam dalam mensikapi perubahan hukum tentang nikah mut’ah ini, yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah haram secara mutlak dan halal secara mutlak (Depag, Pedoman Penghulu, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta, 2005 h, 91).

Apabila ada seorang laki-laki mengawini perempuannya untuk sementara waktu, yang bisasanya mengawini dengan maksud untuk bersenang-senang untuk sementara waktu saja, hal tersebut termasuk katagori nikah mut’ah. Model kawin semacam ini oleh para imam madzhab telah sepakat keharamannya. Menurut mereka, apabila sampai terjadi kawin mut’ah maka hukumnya tetap batal. Artinya dapat difasadkan. Kesepakatan akan batalnya nikah mut’ah, haram secar mutlak disampaikan oleh Jumhur Ulama diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abi Umrah Al Anshari, dan dari ulama Mutaakhirin seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan lain-lain (Depag, Pedoman Penghulu, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta, 2005 h, 91). Pendapat mereka berdasarkan pada firman Allah SWT dalam Surat

Artinya :”Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”(Depag, Al-Qur’an dan Tarjamahnya,CV Jaya Sakti,Surabaya,1984, h. 526).

Golongan ini berpendapat, bahwa wanita dari hasil mut’ah tidak berfungsi sebagai isteri dikarenakan mut’ah bukanlah akad nikah. Nikah mut’ah tidak termsuk akad nikah karena dalam nikah mut’ah tidak saling mewarisi, padahal akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan. Dengan melakukan nikah mut’ah, seseorang tidak dianggap sebagai muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut’ah tidak menjadikan wanita berststus jariyah. Mereka termasuk orang-orang yang melampaui batas.

Menurut Syayid Sabiq, kawin mut’ah hukumnya haram, apabila sampai terjadi maka seluruh imam madzhab sepakat hukumnya tetap batal. Golongan ini mengemukakan argumentasinya dengan alasan sebagai berikut :

1. Bahwa nikah mut’ah seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah thalak, iddah dan pusaka. Jadi nikah mut’ah bathil sebagaiman bentuk-bentuk perkawinan lain yang dibatalkan dalam Islam seperti pergundikan dan lain sebagainya.

2. Rasulullah dengan jelas mengharamkan nikah mut’ah melalui banyak hadist-hadistnya yang secara tegas menyebutkan keharamannya.

Rasulullah SAW bersabda : “Wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”

3. Pidato Khalifah Umar Ibn Khattab di atas mimbar. Pada waktu itu khalifah

Umar menyampaikan keharaman nikah mut’ah dan para sahabat menyetujuinya.

3. Pendapat Al-Khathabi, yang menyatakan keharamannya nikah mut’ah adalah merupakan ijma’ kecuali oleh beberapa golongan aliran Syi’ah.

4. Kawin mut’ah sekedar hanya bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara keluarga. Karena nikah mut’ah ini sifatnya hanya untuk pelampiasan syahwat dan nafsu atau hanya untuk bersenang-senang. Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia ditanya orang tentang nikah mut’ah, jawabnya : “sama denga zina”.

Selain itu kawin mut’ah dapat membahayakan perempuan, yang mengaggap wanita sama halnya dengan benda yang bisa dipindahkan dari satu tangan ke tangan orang lain. Juga dapat merugikan anak-anak dari perkawinan mut’ah ini karena dalam kawin atau nikah mut’ah tidak mengenal waris mewarisi. Anak-anak tidak akan mendapatkan tempat tinggal (rumah kediaman) dan tidak memperoleh pemeliharaan dan pendidikan yang baik.

Adapun yang mempunyai pandangan bahwa nikah mut’ah dihalalkan secara mutlak datang dari sebagian sahabat seperti : Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Asma’ binti Abu Bakar ash-Siddiq, Jabir bin Abdullah, Mu’awiyah, Amr bin Harits, Ma’bad, Salamah dan Abu Said Al-Khudri. Dan sebagian dari golongan tabi’in juga ada yang menghalalkan nikah mut’ah ini, seperti : Atho’, Zaid bin Zubair, dan Tawus. Dan masih ditambah seluruh ulama fiqh Makkah dan golongan Syi’ah Imamiyah. Golongan ini berpedoman pada Surat An-Nisa’ ayat 24.

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini)wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki) Allah telah menetapkan hukum itu sebagai ketetapanNya atas kamu Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya.(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban dan tidaklah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ”(Depag, Al-Qur’an dan Tarjamahnya,CV Jaya Sakti,Surabaya,1984, h. 526).

Menurut pandangan mereka melakukan nikah mut’ah adalah halal sesuai dengan bunyi ayat tersebut

Yang mereka tafsirkan mengambil wanita untuk masa yang tidak terbatas atau nikah dan mengambil mereka untuk masa yang terbatas (mut’ah). Disamping itu pendapat mereka didasarkan pada hadist-hadist Rasulullah yang menyatakan kebolehan melalui kawin mut’ah. Muslim dari Jabir meriwayatkan bahwa Rasulallah bersabda :” Kami pernah melakukan nikah mut’ah dengan mas kawinnya berupa kurma dan gandum pada masa Rasulallah SAW”. Hadist ini menunjukkan bahwa sahabat nabi telah melakukan mut’ah pada masa nabi masih hidup. Hal ini menunjukkan halalnya nikah mut’ah. Sementara itu ijma’ menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal hukumnya. Adapun anggapan bahwa hukum halal nikah mut’ah telah dihapus statusnya, menurut mereka bersifat zhanni yang tidak mempunyai kekuatan untuk menentang dalil yang qath’i yaitu adanya ijma’ terhadap halalnya nikah mut’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar