Carilah Ilmu Dari Sekarang Sampai Selanjutnya....???

Forum Diskusi

Forum Diskusi

Senin, 15 Maret 2010

Relasi Muslim Dan Non Muslim Dalam Masalah Aqidah Dan Kemanusiaan

Relasi Muslim Dan Non Muslim Dalam Masalah Aqidah Dan Kemanusiaan


Dalam tataran teologi atau keyakinan, Islam mengajarkan dua prinsip yang harus diikuti oleh umat Islam, yaitu prinsip ketegasan dan prinsip kebebasan, (Al-Baqarah: 225-256). Namun demikian di balik ketegasan itu diikuti oleh prinsip kebebasan. Artinya Islam tidak menginginkan manusia menerima tauhid dengan terpaksa, tetapi kebenaran tauhid harus di terima secara sadar dan bebas. Ketegasan keyakinan atau aqidah Islam dinyatakan dengan prinsip tauhid, yaitu keesaan Tuhan Allah.



Iftitah

Kita wajib bersyukur bahwa negara dan bangsa kita yang majemuk baik dari segi kultur, etnis, bahasa, dan agama ini dapat menjalin kehidupan yang harmonis satu sama lain. Kita dapat hidup berdampingan secara rukun, saling membahu dan membantu untuk kemaslahatan bangsa dan negara, serta persaudaraan kemanusiaan.

Kondisi tersebut harus terus dipertahankan, bahkan ditingkatkan, karena di samping hal itu sejalan dengan jiwa ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, juga membawa manfaat dan maslahat bagi kehidupan manusia baik secara individu maupun sosial, intern maupun antarumat beragama.

Namun, kondisi yang indah itu, seringkali dikotori oleh nafsu-nafsu serakah manusia, seperti keinginan untuk memaksakan orang lain memasuki agama dan keyakinannya, sehingga terjadilah benturan antarmisi dan dakwah keagamaan. Misi dan dakwah keagamaan adalah merupakan perintah internal masing-masing agama untuk mengajak orang lain ke jalan yang diyakini kebenaran. Namun hal itu harus diikuti dengan sikap terbuka, dengan prinsip kebebasan untuk memilih agama. Begitu juga hubungan antaretnis, suku bangsa, seringkali menimbulkan konflik sosial antara satu dengan lainnya.

Bentuk lain dari upaya mengotori kerukunan hidup antarumat agama itu adalah upaya mengaburkan keyakinan agama, pendangkalan aqidah, pencampuradukkan aqidah dan syari’ah dengan agama lain, serta gerakan anti agama (sekularisme). Sebagaimana kita lihat dan alami akhir-akhir ini, dengan munculnya “ideologi semua agama sama”, telah memunculkan konflik baru baik intern maupun antarumat beragama. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah gerakan sekularisme yang bertitiktolak dari liberalisme pemikiran keagamaan, telah membawa manusia kepada dekadensi moral, karena agama sebagai kendali kehidupan tidak diperhitungkan lagi. Agama di anggap hanya sebagai urusan privat, agama hanya ritual yang tidak memiliki implikasi dalam kehidupan sosial, baik dalam akhlak, hukum, politik, ekonomi dan budaya. Sehingga rusaklah sendi-sendi kehidupan masyarakat, negara dan bangsa.

Sebagai contoh adalah sistem ekonomi kapitalis-ribawi dan sekular, yang tidak memperhitungkan masalah amanah dan kejujuran, telah membawa Indonesia menjadi terpuruk dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut tentang implikasi agama dalam kehidupan masyarakat secara luas, begitu juga mengenai gerakan anti agama (sekularisme), tetapi hanya ingin membatasi masalah hubungan muslim dan non muslim menurut pandangan Islam, pada era multikultural dan plural ini.



Pandangan Teologis Hubungan Muslim-Non Muslim

Dalam tataran teologis atau keyakinan, Islam mengajarkan dua prinsip yang harus diikuti oleh umat Islam, yaitu prinsip ketegasan dan prinsip kebebasan. (Al-Baqarah: 255-256).

Ketegasan keyakinan atau aqidah Islam dinyatakan dengan prinsip tauhid, yaitu keesaan Tuhan Allah, sebagaimana diisyaratkan dengan jelas oleh ayat 255 Al-Baqarah yang sering dikenal ayat Kursi. Ayat Kursi adalah ayat sangat tegas dalam menyatakan keesaan (wahdaniyatullah), kekuasaan (qudratullah), ilmu Allah (ilmullah) dan segala kebesaranNya atas segala yang wujud. Tegasnya prinsip tauhid mengimplikasikan kepada tegasnya untuk menolak segala bentuk syirk (kemusyrikan). Jadi, dalam pandangan Islam kebenaran hanya satu yaitu kebenaran tauhid, dan di luar itu adalah kemusyrikan yang diliputi kebatilan dan kesesatan.

Namun demikian, di balik ketegasan itu diikuti oleh prinsip kebebasan. Artinya Islam tidak menginginkan manusia menerima tauhid dengan terpaksa, tetapi kebenaran tauhid harus diterima secara sadar dan bebas. Oleh karena itu manusia diberi kebebasan untuk memilih tauhid atau syirik, antara iman dan kekafiran. Akan tetapi kembali Allah menutup pernyataan-Nya dengan menunjukkan bahwa antara petunjuk dan kesesatan, antara al-haq dan al-batil telah dihamparkan secara gamblang, maka barangsiapa yang melempar jauh-jauh kekafiran, kemusyrikan dan memperkokoh keimanan kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang pada tali Allah yang kuat dan takkan putus. (Al-Baqarah 256)

Ketegasan dan kebebasan masalah aqidah dan syari’ah ini, secara teknis dijelaskan pada Al-Kafirun 1-6, di mana Allah menegaskan kepada Muhammad SAW agar bersikap tegas kepada kaum kafir dalam masalah-masalah aqidah dan ibadah (syari’ah), yaitu dengan memberikan batas-batas yang jelas antara keduanya, dan tidak dapat bergantian. Umat Islam wajib menjaga kemurnian aqidah dan syari’ahnya dari pencampuradukan dengan agama dan keyakinan di luar Islam. Namun, tetap diperintahkan untuk memberikan toleransi dan penghormatan kepada umat non-muslim untuk memegangi keyakinan dan menjalankan syariat agamanya masing-masing.

Pernyataan ayat terakhir Al-Kafirun, yang berbunyi “lakum diinukum waliyadiin” adalah bentuk pembatasan ketegasan antara iman dan kafir, yang di dalamnya mengandung unsur kebebasan, toleransi dan saling menghormati. Bukan hanya berbicara tentang toleransi dan kebebasan beragama saja.

Akhir-akhir ini dihebohkan dengan penafsiran tentang lafal ”kalimatun sawa” yang dipahami sebagai titik temu dan persamaan semua agama (Q.S. Ali Imran: 64), yang diperkuat oleh ayat Al-Baqarah: 62 dan Al-Maidah: 69. Yang menyatakan bahwa orang Islam, Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman dan beramal shalih kelak akan mendapat keselamatan dan pahala dari Allah. Pemahaman tersebut sebenarnya telah keluar dari qawa’id al-tafsir (kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur'an), sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin yang sering dikenal dengan sebutan generasi Al-Salaf al-Shalih. Pemahaman Al-Qur'an yang tidak mengikuti kaidah penafsiran di atas lebih merupakan manipulasi terhadap makna Al-Qur'an, yang oleh Al-Qur'an disebut dengan tahrif al-Kitab (penyimpangan terhadap Kitab Allah). Sifat dan sikap seperti ini tidak ubahnya seperti sifat dan sikap kaum Yahudi dan Nasrani terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 75-79)

Kalimatun Sawa’ dalam ayat 64 Ali-Imran di atas adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengajak Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) agar berpegang kepada tauhid dengan menerima ajaran Islam yang dibawa oleh beliau, dan membersihkan segala penyembahan kepada selain Allah. Begitu juga ayat Al-Baqarah 62 dan Al-Maidah: 69 Terkait dengan penghargaan Rasulullah kepada kaum Yahudi Madinah yang berbondong-bondong menghadap Rasulullah menyatakan masuk Islam. Maka turunlah ayat yang menyatakan bahwa siapa saja, orang-orang Islam, Yahudi, Nasrani dan Shabiin apabila beriman dan beramal shalih sesuai dengan ajaran Allah yang disempurnakan yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW, maka ia akan masuk surga dan mendapat keselamatan dari Allah. Bukan sembarang beriman dan sembarang amal shalih.

Dengan demikian ayat-ayat terakhir yang sering digunakan senjata oleh kaum pluralis, sekularis untuk melakukan pendangkalan aqidah umat, sebenarnya justru ayat-ayat yang menegaskan kebenaran tauhid yang bersumber Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya jalan keselamatan dan kembali kepada Allah, meskipun tetap mamberikan kebebasan kepada manusia untuk menerima atau menolaknya.



Hubungan Sosial Muslim Dengan Non-Muslim

Dalam lapangan sosial kemanusiaan, hubungan muslim dengan non-muslim dalam Islam mengedepankan prinsip persaudaraan, perdamaian, saling menolong dan membantu di atas prinsip keadilan dan kebajikan. (Al-Mumtahanah: 8) Islam juga memerintahkan umatnya untuk menghormati keyakinan dan peribadatan orang lain, serta melarang mengganggu apalagi merusak tempat ibadah orang lain. (Al-Hajj: 40)

Penghormatan dan perlindungan Islam terhadap pemeluk agama lain, yang siap hidup berdampingan dengan masyarakat Islam, dibuktikan oleh sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang menyakiti kaum kafir dzimmi (non-muslim yang menjalin hubungan harmonis dengan umat Islam), maka ia harus berhadapan dengan aku” (Al-Hadith)

Di antara bentuk kongkret yang dicontohkan Al-Qur'an dalam melakukan hubungan sosial dengan non-muslim adalah perintah melakukan dialog dan mujahadah dengan cara yang baik, bahkan lebih baik dari cara mereka melakukan dialog dengan umat Islam (Al-Ankabut: 46), dihalalkannya makanan Ahli Kitab bagi umat Islam. Di samping itu, juga dapat disimak dalam perikehidupan Rasulullah SAW dalam setiap langkah dakwahnya yang selalu diwarnai oleh sikap lemah lembut, sopan-santun, selalu memberikan maaf, memohonkan petunjuk Allah bahkan bagi orang yang memusuhi dan menyakiti hatinya sekalipun. Seperti dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah telah memberikan obat dan makanan yang terbaik kepada orang kafir yang selalu merintangi jalan Rasulullah menuju tempat ibadahnya, ketika orang itu sakit dan tidak merintangi lagi jalannya menuju masjid. Akhirnya sikap maaf dan kesopan-santunan Rasulullah itu justru membawa orang itu tertarik kepada Islam, dan menyatakan beriman kepada Allah dan RasulNya.

Islam juga hanya memerintahkan bersikap tegas, keras dan berjihad dalam arti perang fisik kepada kaum kafir yang memusuhi Islam dan umatnya. Dalam bahasa Al-Qur'an orang kafir yang anti Islam dan umatnya disebut dengan istilah Kuffar. (Al-Taubah: 123, Al-Fath: 29)

Namun demikian, di samping prinsip perdamaian, keadilan dan persamaan kemanusiaan dan sikap tegas bagi kaum kuffar di atas, ada satu sikap yang sangat penting untuk diperhatikan oleh umat Islam dalam menjalin hubungan sosial dengan non-muslim, yakni sikap hati-hati dan waspada terhadap kemungkinan adanya manuver dan kecenderungan mereka untuk mengajak umat Islam kepada kekafiran, yang seringkali juga dilakukan dengan cara yang halus.

Di antara sikap hati-hati dan waspada tersebut diungkapkan Al-Qur'an dalam bentuk: (a) larangan menjadikan di antara kaum Yahudi-Nasrani (Ahli Kitab) sebagai pemimpin atau pelindung (Al-Maidah: 51, 57), (b) berbagai macam karakter kaum Ahli Kitab, ada yang berfikir jernih, sehingga mau menerima Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW (Al-Baqarah: 62, Ali Imran: 113, 199; Al-Maidah: 64) ada juga golongan Ahli Kitab yang selalu melakukan upaya permurtadan kepada umat Islam (Al-Baqarah: 109, Ali Imran: 69, 100), (c) Di antara Ahlul Kitab ada yang keras permusuhannya terhadap Islam (Yahudi) dan ada yang menunjukkan kelembutan kepada Islam (Nasrani), (Al-Maidah: 82).

Ikhtitam

Dari paparan di atas, begitu jelas batas-batas dan kaidah hubungan antara muslim dan non-muslim menurut ajaran Islam, yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam persoalan keimanan dan syari’ah ‘ubudiyah Islam memberikan batas yang jelas antara Islam dan kekafiran, antara tauhid dan kemusyrikan, antara haq dan batil, yang keduanya tidak mungkin dicampur aduk. Prinsip menjaga kemurnian aqidah dan syari’ah menjadi prinsip dalam hidup bersama dengan umat lain. Tidak ada tawar-menawar dan bergaining untuk bertukar aqidah dan mencampuradukkan masalah peribadatan.

Namun, dibalik ketegasan itu Islam memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk menentukan pilihannya, sekaligus memberikan penghormatan atas pilihannya itu. Akan tetapi di saat yang sama dijelaskan akibat dan konsekuensi atas pilihannya itu.

Sementara dalam relasi sosial kemanusiaan, Islam membangun prinsip keadilan, persamaan dan perdamaian kemanusiaan. Sikap tegas dan perang hanya diijinkan bagi mereka yang melanggar prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan perdamaian di atas. Islam menyatakan perang dan sikap tegas kepada mereka yang memerangi Islam dan umat Islam karena keyakinannya, karena hal itu bertentangan prinsip keadilan, persamaan dan perdamaian kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan larangan Islam kepada umatnya untuk mengganggu, memerangi apabila merusak tempat ibadah umat lain, yang mereka bersedia membangun keadilan, persamaan, dan perdamaian kemanusiaan.

Negeri Indonesia yang multikultural dan multireligius, namun tetap terjalin harmoni kehidupan sosial kemanusiaannya ini, harus dijaga dengan selalu menjaga kemurnian agama masing-masing, di samping selalu membangun sikap saling menghormati, menolong dan bahu membahu dalam kehidupan bersama. Jangan dikotori dengan upaya mengotori kemurnian agama, mengaburkan dan mencampuradukkan keyakinan dan ibadah satu kelompok keagamaan dengan kelompok yang lain. Juga jangan dikotori keagamaan yang tidak fair, seperti menggiring dan memaksa umat yang telah memiliki agama dan keyakinan kepada agamanya dengan cara menipu, yakni dengan kedok santunan sosial ekonomi, pendidikan, budaya dan hukum, karena hanya akan menimbulkan konflik baik internal maupun eksternal dari masing-masing komunitas keagamaan, yang akhirnya hanya akan merusakkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Wallahu A’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar