Carilah Ilmu Dari Sekarang Sampai Selanjutnya....???

Forum Diskusi

Forum Diskusi

Selasa, 02 Maret 2010

Nikah Mut'ah Dalam Pandangan Sunni dan Syi'ah

Pembicara:
Dr. Jalaluddin Rakhmat
Direktur Yayasan Muthahhari
Abdul Moqsith Ghazali
Kepala Madrasah Wahid Institute

Jalal

Semua ulama, baik dari aliran Sunni maupun Syi’ah sepakat, Rasulullah SAW pernah membolehkan dan mensyariatkan nikah mut’ah (nikah dengan jangka waktu). Sedangkan soal Rasulullah SAW pernah mengharamkannya, itu masih dalam ikhtilaf (perdebatan).

“Kita harus berpegang teguh pada yang sudah disepakati dan meninggalkan yang ikhtilaf.”

Demikian disampaikan Direktur Yayasan Muthahhari Jalaluddin Rakhmat, saat memberikan kuliah Ushul Fiqh Progresif dengan tema Nikah Mut’ah dalam Pandangan Sunni dan Syi’ah di Kantor Wahid Institute Jl. Duren Tiga Raya No. 4 Kalibata, Jakarta, Jum’at (13/5/05) petang. Kesimpulan yang sama disampaikan pembahas lainnya, yaitu Kepala Madrasah Wahid Institute, Abdul Moqsith Ghazali.

Menurut Kang Jalal – sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat – seluruh hadits yang mengatakan Rasulullah SAW pernah mengharamkan nikah mut’ah hukumnya dha’if (lemah). Sedangkan hadits Rasulullah SAW yang menghalalkan nikah mut’ah semuanya shahih (kredibel).

“Kalau berpegang pada ilmu hadits, maka kita harus mengikuti Sunnah berdasarkan hadits shahih, bukan mengikuti Sunnah yang didasarkan pada hadits dha’if,” kata Kang Jalal.

Kang Jalal berpendapat sebetulnya perdebatan tentang haram atau halalnya nikah mut’ah akibat dari fanatisme kelompok Sunni maupun Syi’ah, ketimbang pada dasar-dasar al-Qur’an maupun hadits Nabi.

Kemudian ahli komunikasi dari Universitas Padjajaran Bandung itu memaparkan dalil-dalil keberatan kaum Muslim Sunni terhadap nikah mut’ah.

Keberatan pertama, tidak ada ayat al-Qur’an yang membolehkan nikah mut’ah. Kedua, ada ayat al-Qur’an tentang nikah mut’ah, tapi hukumnya telah di–mansukh (dihapus) oleh ayat al-Qur’an yang lain. Ketiga, Rasulullah SAW pernah menghalalkannya, tapi kemudian mengharamkannya. Keempat, bukan Rasulullah SAW yang mengharamkannya, tapi Umar bin al-Khattab. Kelima, yang paling penting dari penolakan Sunni ialah karena Sunni merujuk perilaku shahabat yang tidak pernah menjalankannya.

Kang Jalal yang juga dikenal sebagai tokoh Syi’ah Indonesia ini menolak argumen-argumen tersebut.

Menurut Kang Jalal, kebolehan nikah mut’ah selain berdasarkan argumen hadits, juga didasarkan pada QS al-Nisa’ ayat 24. Ayat ini berbunyi famastamta’tum bih minhunna faatuhunna ujurahunna faridhah. “Dan perempuan-perempuan yang kamu nikahi dengan mut’ah, hendaklah kamu berikan ujrahnya (mahar) sebagai satu kewajiban.”

Bahkan shahabat Rasulullah SAW yaitu Ibn Abbas dan Ubay bin Ka’b ketika membaca ayat ini selalu menambahkan kalimat ila ajalin musamma (sampai waktu yang ditentukan). Famastamta’tum bih minhunna ila ajalin musamma faatuhunna ujurahunna faridhah. “Dan perempuan yang kamu mut’ah sampai waktu yang ditentukan, hendaklah kamu berikan ujrahnya (mahar) sebagai satu kewajiban.”

“Itu menunjukkan legitimasi yang kuat untuk nikah mut’ah.

“Tidak ada satupun shahabat yang menyangkal Ibn ‘Abbas dan Ubay bin Ka’b ini. Kalau mengikuti tradisi Sunni, ini berarti umat telah ijma’ (sepakat) tentang kebenaran qiraat (versi membaca) dua shahabat tadi,” jelas Kang Jalal.

Kang Jalal juga menunjukkan, setidaknya ada 20 shahabat dan tabi’in yang sampai akhir hayatnya selalu mempraktekkan nikah mut’ah. Mereka antara lain, Imran bin al-Hushain, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Sa’id al-Khudri, Salamah bin Umayyah bin Khallad, Ma’bad bin Umairah, Umayyah, Zubair bin al-Awwam, Khalid bin Walid al-Makhzumi, Amr bin Harits, Ubay bin Ka’b, dan seterusnya.

Oleh sebab itu, Kang Jalal menyatakan mut’ah dihalalkan Muhammad SAW dan kehalalannya berlaku sampai Hari Kiamat, seraya mengutip adagium kaum Muslim Syi’ah; halalu Muhammad halal ila yaumil qiyamah wa haram Muhammad haram ila yaumil qiyamah (Apa yang dihalalkan Muhammad, halal sampai Hari Kiamat. Apa yang diharamkan Muhammad, haram sampai Hari Kiamat).

Menurut Kang Jalal, nikah mut’ah adalah nikah. Seluruh hukum pernikahan (nafkah, pewarisan, iddah, dan sebagainya) juga berlaku dalam nikah mut’ah, kecuali jangka waktu.

Bahkan Kang Jalal menilai nikah yang dihalalkan oleh kaum Muslim Sunni yaitu nikah da’im (permanen) bukanlah tanpa batas waktu. Dalam nikah da’im masih dibuka peluang untuk mengakhiri hubungan pernikahan tersebut melalui perceraian. Pandangan ini dikutip Kang jalal dari sebuah buku karya penulis Mesir dari kalangan Islam Sunni.

“Nikah mut’ah adalah nikah yang temporer, tapi setiap saat bisa diperpanjang, bahkan bisa diabadikan. Sementara nikah da’im adalah nikah yang katanya tidak terikat waktu, tapi setiap saat bisa diputuskan. Pikirkanlah oleh kamu! Mana sebetulnya yang lebih manusiawi?”

Lebih Kokoh
Pada kesempatan itu, Abdul Moqsith Ghazali menyatakan bahwa halalnya nikah mut’ah memiliki argumen doktrinal yang lebih kokoh daripada argumen yang menolaknya.

“Saya sepakat dengan Kang Jalal, tidak ada ikhtilaf (perdebatan) di kalangan ulama bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan,” ungkap Moqsith.

Moqsith kemudian menguraikan latar belakang dihalalkannya nikah mut’ah pada zaman Rasulullah SAW. Awalnya, para shahabat yang berperang jauh dari istrinya tidak sanggup menanggung beban biologis.

Tetapi Nabi Muhammad SAW tidak menyuruh para shahabat melakukan onani, masturbasi atau berpuasa, melainkan menyuruh nikah dengan jangka waktu.

“Ini berarti, saat itu nikah mut’ah pernah dipakai sebagai solusi untuk menghadapi kegentingan biologis para shahabat,” jelas Moqsith.

Sedangkan penilaian haram dan halalnya nikah mut’ah, Moqsith menilai soal itu hanyalah sebuah pertentangan tafsir antara kaum Sunni dan Syi’ah.

“Jika diperdebatkan terus-menerus maka tidak akan berkesudahan. Oleh karena itu, saya kira, ujiannya harus lebih empiris di lapangan. Apakah nikah mut’ah itu efektif untuk membebaskan kaum perempuan atau justru diskriminatif.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar