Carilah Ilmu Dari Sekarang Sampai Selanjutnya....???

Forum Diskusi

Forum Diskusi

Selasa, 02 Maret 2010

Referensi Nikah Mut'ah bag 3

Nikah Mut’ah: Tinjauan Referensi bag.3 (TAMAT)

leave a comment »

Ibnu Hazm, dalam kitabnya Al-Muhalla 9/519, setelah manetapakan jumlah sahabat yang membolehkan nikah mut’ah, ia berkata: Ini diriwayatkan dari Jabir dan seluruh sahabat sejak masa Rasulullah SAW,Abu Bakar, dan sampai pertengahan masa kekhalifahan Umar. Kemudian ia berkata: Dari tabi’in adalah Thawus, Said bin Jubair dan seluruh fuqaha Mekkah. Abu Umar, penulis kitab I-Isti’ab berkata, bahwa sahabat – sahabat Ibnu Abbas dari penduduk Mekkah dan Yaman, semuanya memandang nikah mut’ah adlah halal menurut mazhab Ibnu Abbas, sementara semua manusia mengharamkan. Silahkan rujuk:

1. Tafsir Al-Qurthubi,jilid 5,halaman 133.
2. Fathul Bari,jilid 9,halaman 142,cet. Darul Ma’rifah.
3. Catatan pinggir Al-Muntaqa,jilid 2,halaman 520.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya 5/132 berkata : penduduk Mekah banyak mempraktekan nikah mut’ah. Ar-Razi dalam tafsirnya 3/200, tentang ayat mut’ah berkata: mereka berbeda pendapat dalam hal apakah ayat itu dimanskh atau tidak ? Para tokoh Ummat mayoritas mengatakan dimansukh dan sebagian mereka mengatakan tidak dimansukh, hukumnya tetap berlaku sebagaimana adanya. Iman Malik bin Annas adalah salah seorang Fuqaha Ahlus sunnah yang membolehkan nikah mut’ah . Silahkan rujuk kitab – kitab berikut: Al-Mabsuth,As-sarkhasi; Syarah Kanzud Daqaiq; Fatawa Al-Faraghi;Khizatur Riwayat, Al-Ghadi,Al-Kafi fil furu’ Al-Hanafiyah;’Inayah Syarhul Hidayah; Syarah Al-Muwaththa’, Az-Zarqani; Al-Ghadir 6/222-223;dan tafsir Al-Qurthubi, jilid 5, halaman 130.

Ada beberapa pendapat:
Pendapat Pertama: HARAM. Mut`ah sebagai perbuatan zina dan keji. Berarti Nabi saw pernah membolehkan sahabatnya melakukan perbuatan zina dan keji.

Pendapat kedua: MUBAH, sebagai bantahan pada pendapat pertama. Kapan dimansukh oleh Nabi saw? Ayat apa yang memansukhnya?
Dalam kelompok ini ada beberapa pendapat.
1. Dimansukh oleh Surat Al-Mu’minun: 5-7
2. Dimansukh oleh ayat tentang iddah yaitu Surat Ath-Thalaq: 1
3. Dimansukh oleh ayat tentang waris yaitu Surat An-Nisa’: 12
4. Dimnsukh oleh ayat tentang muhrim (orang-orang yang haram dinikahi) yaitu Surat An-Nisa’: 23
5. Dimansukh oleh ayat tentang batasan jumlah istri yaitu Surat An-Nisa’: 3
6. Dimansukh oleh hadis Nabi saw.

Terhadap pendapat yang pertama: Tidak sesuai dengan hukum nasikh-mansukh, karena Surat An-Nisa’: 24 (tentang nikah mut`ah) ayat Madaniyah sedangkan Surat Al-Mu’minun: 5-7 ayat Makkiyah. Tidak ayat Makkiyah menasikh ayat Madaniyah.

Terhadap pendapat ke 2, 3, 4, dan ke 5: Hubungan Surat An-Nisa’: 24 dengan ayat-ayat tersebut bukan hubungan Nasikh-Mansukh, tetapi hubungan umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad (mutlak dan terbatas). Memang sebagian ulama Ushul figh mengatakan bahwa jika yang khusus diikuti oleh yang umum dan berlawanan dalam penetapan dan penafian, maka yang umum menasikh yang khusus. Tetapi menggunakan kaidah dalam masalah ini sangat lemah dan tidak sesuai dengan pokoh persoalannya.

Misalnya ayat tentang Iddah sifat umum dan terdapat di dalam Surat Al-Baqarah sebagai awal surat Madaniyah, diturunkan sebelum surat An-Nisa’ yang di dalam terdapat ayat tentang nikah mu`ah. Demikian juga ayat tentang batasan jumlah istri, dan muhrim terdapat di dalam Surat An-Nisa’ sebagai pengantar ayat tentang nikah mut`ah saling berkaitan satu sama lain. Semua ayat itu bersifat umum, dan ayat tentang nikah mut`ah sebagai ayat yang bersifat khusus diakhir dari yang umum. Bagaimana mungkin pengantar menasikh penutup pembicaraan.

Wabil khusus, pendapat yang mengatakan ayat tentang Iddah menasikh ayat nikah mut`ah sama sekali tidak berdasar, karena hukum iddah itu berlaku juga dalam nikah mut’ah selain di dalam nikah permanen. Demikian juga pendapat yang mengatakan ayat tentang muhrim menasikh ayat nikah mu`ah, semuan perempuan yang haram dinikahi saling berkaitan dan tak terpisahkan dengan segala bentuk pernikahan baik permanen maupun mut`ah. Bagaimana mungkin pengantar pembicaraan menasikh penutupnya. Lagi pula ayat tersebut tidak menunjukkan larangan hanya terhadap nikah permanen.

Pendapat yang keenam: Ayat nikah mut’ah dimasukh oleh hadis Nabi saw. Pendapat ini sama sekali tidak berdalil, karena secara mendasar ia bertentangan dengan riwayat-riwayat mutawatir yang menjelaskan Al-Qur’an, dan riwayat-riwayat yang merujuk kepada Al-Qur`an.

Siapakah yang menghapus Nikah Mut’ah?

Dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Kami melakukan nikah mut`ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum, beberapa hari pada zaman Rasulullah saw dan khalifah Abu Bakar, sehingga Umar melarangnya karena kasus Amer bin Huraits.Dalam Ad-Durrul Mantsur, Malik dan Abdurrahman meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa pada suatu hari Khawlah binti Hakim datang dan melapor kepada Umar bin Khattab: Sesungguhnya Rabi`ah bin Umayyah melakukan mut`ah dengan seorang perempuan hingga ia hamil. Kemudian Umar keluar dari rumahnya sambil menarik-narik bajunya dan berkata: Inilah akibat mut`ah, kalau sekiranya aku sudah membuat keputusan tentangnya sebelumnya, niscaya aku rajam ia. Dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad meriwayatkan dari `Atha`, ia berkata: Setelah Jabir bin Abdullah selesai melakukan umrah, kami berkunjung ke rumahnya, ketika itu ada sekelompok orang bertanya kepadanya tentang sesuatu, kemudian mereka menyebutkan mut`ah. Jabir berkata: Kami melakukan mut`ah pada masa Rasulullah saw, masa Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Menurut riwayat dari Ahmad, sehingga akhir masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Dalam Sunan Al-Baihaqi, dari Nafi`, dari Abdullah bin Umar, ketika ia ditanya tentang nikah mut`ah, ia berkata: Nikah mut`ah itu haram menurut Umar, dan sekiranya ada orang yang melakukannya, ia pasti merajamnya dengan batu.

Dalam Sunan Al-Baihaqi: Jabir berkata, Umar berdiri kemudian berkata: sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang diinginkan dengan apa yang diinginkan, maka hendaknya kamu menyempurnakan haji dan umrah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, dan hentikan melakukan nikah ini, tidak ada seorang pun laki-laki yang menikahi perempuan dengan waktu yang ditentukan kecuali aku rajam dia. Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dari Umar bin Khattab, dalam khutbahnya ia berkata: Dua mut`ah ada pada zaman Rasulullah saw, akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya: mut`ah haji dan nikah mut`ah. Wallahu a’lam bi showaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar