Carilah Ilmu Dari Sekarang Sampai Selanjutnya....???

Forum Diskusi

Forum Diskusi

Senin, 15 Maret 2010

DIALEKTIKA IDEOLOGI
Monday, 08 June 2009 13:06
Oleh: Suwandi Sumartias
Mencermati wacana tentang neoliberalisme dan prokerakyatan di antara para cawapres
merupakan kerja yang teramat sia-sia dan akan menyerap energi besar yang tak solutif, apalagi
dalam ranah praksis ideologi Pancasila, yang semakin hari semakin pudar dan atau
ditinggalkan penganutnya. Menurut Jean Jacques Rousseau (1957), bukankah suatu ideologi
merupakan kontrak sosial dan konstruksi manusia sebagai subjek dalam konteks ruang dan
waktu sesuai kepentingan dan kebutuhannya. Saya sebagai warga sebuah negara bebas dan
karenanya menjadi bagian dari pemerintahan yang sedang berkuasa. Namun, pada praktiknya
kebebasan selalu berada pada belenggu orang lain yang menganggap dirinya penguasa atau
tuan yang dianggap lebih tinggi dari dirinya. Dalam konteks kekuasaan, ideologi tentunya
hanyalah satu kumpulan kesepakatan bersama yang sangat temporal dan dinamis.
Praksis ideologi
Ideologi sebagai wacana, hakikatnya merupakan kesatuan gagasan, keyakinan, dan pemikiran
yang terus ada menyejarah dan tak pernah hilang. Sebaliknya, dalam tataran praksis, ideologi
(politik atau ekonomi) telah mengalami berbagai interpretasi dan pengertian. Dalam tataran
modern, ideologi memiliki makna negatif atau jelek (perioratif) sebagai teorisasi atau spekulasi
dogmatik, khayalan kosong, dan tidak realistis. Ideologi juga memiliki makna positif (melioratif)
sebagai setiap sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal yang
filosofis dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Dalam ranah implementatif, berbagai macam ideologi (liberal klasik, neoliberalisme, marxis,
sosialis, atau Pancasila sekalipun) mengalami dekonstruksi dan interpretasi yang beragam
sesuai pengalaman dan kesadaran serta nilai-nilai yang diyakini individu sebagai sesuatu yang
benar. Demikian juga ideologi suatu negara, yang dipandang terbaik oleh para elitenya, belum
tentu akan sama dimaknai oleh rakyatnya. Kenyataannya suatu ideologi tentu akan sangat
tergantung dari sejauhmana ideologi mampu menjawab berbagai kepentingan praktis para
penganutnya.
Contoh ekstrem, banyak orang meragukan kemampuan neoliberalisme sebagai kelanjutan
modernisme untuk menjawab sistem ekonomi Indonesia. Begitu juga halnya dengan
sosialisme, padahal keduanya bertujuan sama yang substantif yakni menyejahterakan rakyat
dengan cara yang berbeda. Demikian juga kehadiran Pancasila dengan segala indikator dan
metode sosialisasi, penataran yang begitu masif pada rezim penguasa terdahulu, ternyata tak
memiliki relevansi dengan berkurangnya perilaku KKN yang membuat negeri ini terjebak dalam
lingkaran keterpurukan dalam berbagai dimensi. Sungguh suatu dialektika ideologi yang sulit
dipahami dengan logika dan nurani yang umum.
Kepemimpinan kolektif
Eksistensi negarawan sejatinya memiliki berbagai kelebihan yang pantas dan layak
dipertaruhkan dalam sebuah kompetisi dan kepentingan yang kolektif dan lingkupnya yang
amat luas. Indonesia sebagai kesatuan dari berbagai kondisi SDM dan SDA yang teramat
kompleks, bukanlah realitas sosial final yang mudah dibaca dalam lembaran kertas, namun
sebagai entitas sosial yang perlu dikaji ulang secara kritis dan dinamis terus-menerus.
1 / 2
DIALEKTIKA IDEOLOGI
Monday, 08 June 2009 13:06
Mencermati simpul-simpul kekuatan dan kekuasaan yang berada di lingkaran elite hanya akan
membutakan penglihatan dan penghayatan realitas sesungguhnya yang terjadi pada mayoritas
rakyat. Jika masih ditemukan kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, drop out SD, SMP, dan
pengangguran, rakyat dengan mudah merasakan apakah masih dibutuhkan pemimpin atau
tidak. Demikian juga jika masih ditemukan berbagai pelanggaran norma-norma sosial, moral,
dan hukum positif dalam masyarakat.
Kepemimpinan kolektif yang dilahirkan melalui demokrasi sejatinya melahirkan pemimpin yang
memiliki komitmen pada nasib rakyat pemilihnya. Namun, karena SDM rakyat yang masih
berkutat dengan segala keterbatasannya sehingga potensial untuk diiming-imingi dengan
materi ala kadarnya (kaus parpol, transport bensin, dan lain-lain.), substansi demokrasi berganti
dengan demonstrasi dan tawuran, termasuk praktik koalisi dan konflik ideologi yang telah
membingungkan dan sulit dipahami.
Dalam situasi negara, elite, dan rakyat seperti itu, siapa pun pemimpin, ideologi macam apa
pun, tak akan mampu menarik perhatian rakyat, kecuali berlomba pada tataran substantif
perubahan dan dinamika mayoritas rakyaMengurangi berbagai pelanggaran, penyelewengan
birokrasi di tingkat elite kekuasaan, tentunya dinilai sebagian orang tidak akan populer. Namun,
akan sama halnya, jika dibiarkan, sama dengan menyimpan bom waktu. Kepemimpinan kolektif
yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang benar-benar memiliki komitmen pada perubahan,
pembenahan birokrasi, membersihkan pejabat bermasalah demi kepentingan perubahan nasib
rakyat banyak. Paling tidak, rakyat merasakan kehadiran seorang pimpinan dan dibutuhkan
dalam kehidupannya.
Melalui Pilpres 2009, pintu perubahan semestinya menjadi komitmen awal melahirkan
kepemimpinan kolektif yang benar-benar ditunggu dan dicintai mayoritas rakyat. Pemimpin
yang sungguh memiliki kemauan dan komitmen politik untuk bangkit bersama dari
keterpurukan, kemiskinan, pengangguran, pelanggaran hukum, moral dan sosial, mumpuni lahir
batin, dan tahan godaan-godaan yang artifisial. Semoga Pilpres 2009 bukan sekadar
permainan politik dan panggung sandiwara belaka yang dimainkan elite politik negeri ini. Martin
Luther King mengungkapkan, "We are as strong as the weakest of the people," (kita tidak akan
menjadi bangsa yang kuat dan besar kalau mayoritas masyarakatnya masih lemah dan miskin).
Penulis: pengajar Mata Kuliah Komunikasi Politik di Fikom Unpad Bandung
Sumber: Harian Pikiran RaKyat, Senin 08 Juni 2009
2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar