Pernikahan dlm pandangan islam dan nikah Mut'ah Di islam Syiah | for everyone |
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam
Pernikahan tersebut dianggap sah menurut hukum Islam bila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Syarat pernikahan adalah (1) persetujuan kedua belah pihak, (2) mahar (mas kawin), (3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Sedangkan rukun pernikahan adalah (1) calon suami, (2) calon isteri, (3) wali, (4) saksi dan (5) ijab
Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah mengemuka setelah beberapa orang terkenal di negeri ini melakukannya secara diam-diam, namun tercium oleh pers, sehingga menimbulkan kontroversi di kalangan ummat Islam. Nikah Mut’ah atau lebih dikenal dengan ‘kawin kontrak’ adalah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk ‘jangka waktu terbatas’ yang berakhir dengan habisnya masa tersebut. Suami tidak berkewajiban memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada isteri serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.
1. Nikah mut’ah dibatasi oleh waktu, sedangkan nikah sunni tidak dibatasi
2. Nikah mut’ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia
3. Nikah mut’ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami isteri, sedangkan nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya
4. Nikah mut’ah tidak membatasi jumlah isteri, sedangkan nikah sunni dibatasi dengan jumlah isteri hingga maksimal empat orang
5. Nikah mut’ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, sedangkan nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi
6. Nikah mut’ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada isteri Nikah mut’ah atau kawin kontrak sebenarnya merupakan tradisi Kaum Syi’ah.
Hal ini dimungkinkan karena adanya salah penafsiran atau pemutarbalikan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w. oleh para mufassirin (ahli tafsir) Syi’ah. Mufassirin Syi’ah yang sangat terkenal dalam ‘membela’ dihalalkannya nikah mut’ah adalah Fathullah Al-Kasyani, sebagaimana ditulis dalam kitab Tafsir Manhaj, Dikatakan oleh beliau bahwa nikah mut’ah adalah keistimewaan yang diberikan kepada Rasulullah, dan barang siapa melakukan mut’ah sekali dalam hidupnya, maka ia akan menjadi ahli surga, dan orang yang mengingkari mut’ah dianggap kafir murtad.
Sedangkan Abu Ja’far Asth-Thusi dalam kitabnya At-Tahdzif menyatakan bahwa Abu Abdillah a.s. (Imam Syia’ah yang dianggap suci) memberikan pernyataan bahwa ‘kawinlah (secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka karea mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya anita sewaan.’ Fathullah al-Kasyani menyatakan bahwa rukun nikah mut’ah adalah suami, isteri, mahar, pembatasan waktu (taukit) dan shighat ijab
Hukum Nikah Mut’ah
Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya tanggal 25 Oktober 1997 menetapkan bahwa Nikah Mut’ah hukumnya HARAM, dan pelaku nikah mut’ah dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Dasar pertimbangannnya adalah pertama bahwa nikah mut’ah mulai banyak dilakukan terutama dilakukan oleh kalangan pemuda dan mahasiswa. Kedua, praktek nikah mut’ah telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat dan ummat Islam, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi’ah di Indonesia. Ketiga, bahwa mayoritas ummat Islam
Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar keharaman nikah mut’ah adalah sebagaimana firman Allah dalam
Semua madzhab, baik madzhab Hanafi, madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali juga mengharamkan nikah mut’ah, karena memang telah dilarang Allah dan Rasul-Nya, dan hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah dianggap telah mencapai peringkat mutawatir.
Nikah Mut’ah dan Martabat Wanita
Hikmah dilarangnya nikah mut’ah, khususnya di kalangan kaum Sunni adalah untuk menjaga martabat wanita itu sendiri. Dengan melihat syarat dan rukun nikah mut’ah yang sangat ‘sederhana’, maka wanita tak ubahnya bagai barang mainan, yang pada akhirnya dapat menjerumuskan seorang wanita dalam lembah pelacuran terselubung. Karena wanita yang dinikahi dengan menggunakan cara nikah mut’ah pada hakikatnya hanya untuk pemuas nafsu belaka (bersenang-senang dalam waktu sesaat).
Padahal dalam Islam, lembaga pernikahan dibentuk dalam rangka menjunjung harkat dan martabat wanita. Syarat dan rukun nikah adalah salah satu bentuk nyata bagaimana Islam memuliakan wanita. Tanpa memenuhi syarat dan rukun nikah, maka seorang laki-laki tak akan bisa menikahi seorang wanita dan membentuk sebuah lembaga pernikahan. Tujuan disyari’atkannya lembaga pernikahan adalah untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah.
Usaha mewujudkan keluarga bahagia, sakinah mawadah wa rahmah tidak dapat diwujudkan hanya dalam waktu sesaat atau dalam waktu singkat (sehari atau dua hari), namun diperlukan rentang waktu yang panjang dengan pembinaan yang simultan antara suami dan isteri. Karena pada tahapan selanjutnya, tugas lembaga pernikahan adalah membentuk peradaban dan menjadi khalifah di muka bumi (dunia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar